Anak dan Media

6:28 AM Nova Zakiya 0 Comments


Tergelitik akan sebuah tweet seorang teman di malam sumpah pemuda

Sadar ga sadar, keadaannya memang demikian
Pas gue kecil, banyak banget lagu anak-anak yang “benar-benar” menggambarkan bahagianya masa kanak-kanak dan menjadi anak-anak yang selalu ceria, bermain dengan penuh canda tawa dan penuh rasa ingin tahu akan suatu hal. Ya penyanyi cilik macam Sherina, Trio Kwek-kwek, Joshua, Chikita Meidy, Maissy, Agnes Monica, dan sejumlah penyanyi cilik lainnya selalu menggambarkan masa kanak-kanak yang bahagia, yang selalu ingin mencapai cita-cita setinggi mungkin dengan giat belajar, menjaga kebersihan dan kesehatan, berbagai hal positif lainnya yang dituangkan dalam lagu-lagu mereka. Dan itu cukup memotivasi menurut gue.

Pas gue udah gede, gue jarang nemu lagu-lagu kaya gini. Mungkin penyanyi cilik ada, cuma ga seheboh dulu. Ada beberapa, tenar karena lagu tentang cinta. Sebenernya, itu nggak cocok buat umurnya yang menurut gue belum pantas untuk cinta-cintaan. Cuma mengutip kata-kata temen gue, rata-rata musisi udah orientasi ‘makan apa gue besok’ (Pandianuraga 2012).

Mungkin ini semacam “kalo mau terkenal ya harus mengikuti perkembangan zaman” atau “tuntutan zaman yang keliru”. Sebenernya ada penyanyi cilik yang lagunya ga cinta-cintaan, gue sempet lihat di salah satu restoran cepat saji. tapi gue pikir pamornya kalah saing sama penyanyi cilik lain yang lagunya semacam “tertarik dengan lawan jenis” di usianya yang masih kanak-kanak. Terbukti, ini banyak peminatnya, bahkan orang dewasa. Mungkin ditambah sama muka si penyanyi yang imut-imut kali ya.


Lebih sedih lagi saat gue ngeliat tweet temen gue yang lain

Entah ini temen gue nemu tuh anak kecil dimana, tapi pas gue konfirmasi bener apa ngga, ya memang iya temen gue ketemu sama si bocah-bocah itu. Oke, pacaran anak kecil ngga bisa disamain sama pacarannya orang dewasa (itu sudah pasti), tapi si anak dapet tuh konsep “pacaran” dari mana -,,-

Sebenernya ngga perlu heran juga sih ya, ini semacam pengaruh perkembangan zaman saat ini, dimana kemajuan teknologi ikut andil dalam hal ini. salah satunya pengaruh media. Film anak-anak suka disisipin juga tentang cinta-cintaan, memang secara kasat mata nyisipinnya, cuma dari situ anak bisa meniru. Belum lagi sinetron yang isinya muter-muter disitu aja, buat emaknya yang suka nonton sinetron yang ngga bisa diganggu gugat sehingga mau ngga mau anak juga ikutan nonton sinetron yang isinya cinta, dendam, benci, dan hidup mewah (asaan kalo di sinetron teh hidup enak-enak aja, mau minta apapun sok tinggal tunjuk, gaya hidup modern wak ceunah mah). Mau ngga mau balik lagi ke pendapat temen gue, orientasi mereka “mau makan apa besok” jadi semua pihak berlomba-lomba membuat sesuatu yang banyak peminatnya, termasuk dalam hal ini.

Oke, gue sendiri memang belum punya pengalaman memiliki anak dan menjadi orang tua. Tapi peran orang tua memang sangat penting kalo menyikapi anak yang seperti ini. bonding mereka harus kuat, anak merasa diterima dan diperhatikan. Bukan masalah melarang anak pacaran, boleh pacaran asal mungkin kalo udah umurnya misal pas udah usia 17 tahun. Anak pun harus didampingi saat menonton televisi, sehingga orang tua bisa memberikan penjelasan yang tepat, anak tidak menyimpulkan sendiri dari apa yang dia lihat. Jelas ini menjadi susah ketika kedua orang tua bekerja semua (masalah ini nanti dibahas setelah penelitian gue selesai kali ya, untuk saat ini gue ngga berani berspekulasi terlalu banyak hahaha). Memang, peran dan perhatian orang tua sangat berpengaruh, bro! dan yang harus diingat, orang tua itu role model bagi anak, mau ngga mau, anak pasti akan meniru orang tuanya, mungkin ini awal mula ada pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.


 Ada film bagus, judulnya Cita-Citaku Setinggi Tanah, karya Eugene Panji. Film layar lebar. Di film itu dikisahkan tentang 4 sahabat, Agus, Jono, Sri (yang maunya dipanggil Mey) dan Puji, yang mendapat tugas sekolah untuk menuliskan cita-citanya. Jono bercita-cita menjadi tentara (dalam kesehariannya dia memang suka memimpin, jadi ketua kelas mulu), Mey yang ingin jadi artis yang selalu mendapat dorongan dari orang tuanya, dan Puji yang memiliki cita-cita ingin membahagiakan orang lain. Sedangkan cita-cita Agus, ingin makan di rumah makan Padang. Jelas dia ditertawakan oleh teman-temannya. Tapi di film itu, benar-benar diperlihatkan bagaimana si Agus berusaha untuk mewujudkan mimpinya itu. Ayahnya hanya bekerja di pabrik tahu dan ibunya ibu rumah tangga yang selalu masak tahu bacem setiap harinya. Berbagai cara Agus lakukan, dengan menabung (dia menahan dirinya untuk tidak mengikuti hawa nafsu untuk jajan terlalu banyak), menjual keong sawah, membantu mengantar ayam potong ke rumah makan, untuk dapat mewujudkannya menggunakan uangnya sendiri. Bukan masalah cita-citanya yang mungkin menurut kalian cetek, tapi usahanya, kerja kerasnya dalam mewujudkan mimpi itu yang membuatnya bermakna. “Cita-cita itu bukan untuk ditulis, tapi untuk diwujudkan. Rejeki itu sudah ditetapkan oleh Yang Di Atas, tinggal menunggu waktu yang tepat dan bagaimana caranya ia turun ke kita dengan usaha yang kita lakukan”. sayangnya, sepertinya film ini kurang mendapat peminat dari masyarakat banyak.

Sedikit komentar bukan untuk menggurui atau apapun itu, ini pendapat gue karena gue juga belajar tentang perkembangan anak. So, apa komentar kalian?

0 comments: